Dd Irsyad ikut jaga toko |
Senin,
11 Agustus 2014. Saya kembali bertugas jaga toko setelah lama absen sejak bulan
puasa. Maklum, riweuh terus di rumah. Pasca tidak ada ART, mulai hari itu saya akan
mengajak Dd Irsyad, anak bungsu saya, ikut ke toko. Tidak disangka, pada hari
pertama ini saya bertemu dengan penipu yang dulu pernah mencuri uang toko (pernah saya ceritakan di sini, tepatnya si penipu nomor 5).
Ingatan
saya kembali pada kejadian hampir setahun yang lalu. Saat itu sekitar pukul 9
pagi. Toko saya masih di lokasi yang lama, tempat berdagang yang kurang
menguntungkan. Letaknya menjorok ke dalam karena tertutup teras toko lain. Sementara
toko sebelah saya berjualan bakso dan baru buka agak siang. Sebelahnya lagi,
tukang pangkas rambut full ac yang pintunya selalu tertutup rapat. Sepi.
Sasaran empuk bagi para penipu.
Tiba-tiba,
datang seorang pria bersepeda motos berteriak dari pinggir jalan. Dia bertanya
apakah saya menjual obat batuk merk A. Saya jawab, “Ada,” Dia segera turun dari
motor, lalu menghampiri saya. Dia banyak bertanya tentang obat merk A tersebut.
Saya menjelaskannya dengan sabar.Obat batuk seharga Rp.13.000 itu dibelinya. Uang
100 ribu rupiah diberikan kepada saya. Saya berikan kembalian sebesar
Rp.87.000. Selesai? Belum.
Dia
beranjak pergi. Tapi kembali lagi sambil
memarkir motornya ke dalam teras toko. Saya curiga. Teras toko hanya
dipakai untuk parkir motor suami saya dan Mbak penjaga toko. Jika dia sampai
parkir di dalam, kesannya dia ingin berkunjung lebih lama. Belakangan saya
tahu, alasan motor diparkir sedekat mungkin dengan posisi tubuhnya adalah agar
dia lebih cepat melarikan diri.
Lalu
dia berubah pikiran. Masa jeda mengambil motor itu seolah menjadi momen untuk
dia mengingat sesuatu. Katanya, orang yang titip obat ini tidak mau obat batuk
yang pakai zat X. Saya disuruh mencari obat batuk merk lain. Saya menerima obat
A yg tidak jadi dibelinya. Saya kembalikan uang 100 ribu miliknya. Saat saya
akan mengambil uang kembalian yang masih dia pegang, dia mengalihkan perhatian
saya dengan marah-marah dan minta saya segera mencarikan obat yang tepat. Saya
dibuat sibuk dengan mencari obat yang dia inginkan. Obat merk B salah. Obat
merk C bukan. Obat merk D ditolak. Sebagai penjual yang baik, saya masih
meladeni dengan sabar. Sementara dia terus nyerocos dengan suara keras dan
membentak marah, “Kok nggak ada sih?!”
Tiba-tiba
saja dia berubah pikiran lagi dengan bilang obat yang dia cari tidak ada. Dia
segera melompat ke motor yang ada tepat disampingnya lalu pergi dengan
kecepatan tinggi. Beberapa detik kemudian, saya baru sadar jika dia sudah
mengambil uang kembalian tadi. Saya tertipu.
Kembali
ke kejadian tadi pagi. Seorang pria berteriak dari pinggir jalan. Menanyakan
ada obat batuk merk B atau tidak. Saya mengiyakan. Sedikit merasa dejavu, saya
mulai curiga. Semua pelanggan saya adalah orang yang sopan. Jika ingin membeli,
meski repot dengan anak dan bawaan di atas sepeda motor, mereka pasti akan
turun dan menemui saya ke dekat etalase. Satu-satunya orang yang berteriak dari
motor menayakan obat ya hanya si penipu uang kembalian itu.
Meski
demikan, saya masih berprasangka baik. Bukan. Mungkin bukan penipu. Saya
ambilkan obat merk B. Dia turun dari motor. Toko saya yang sekarang ini sudah
pindah lokasi. Motor terpaksa diparkir diluar teras toko karena terhalang
tembok kecil.Jadi, dia tidak bisa memarkir motor sedekat mungkin dengan dirinya
supaya mudah lari.
“Ini
bener kan obatnya?” tanyanya. Suaranya keras dan menggelegar. “Iya bener,”
jawab saya sambil menatap wajahnya. DEG! Saya mengenalinya! Saya ingat wajah
dan suara ini! Ini si penipu! Mau menipu saya lagi?! Memangnya dia tidak ingat
dengan saya?! Lalu, uang 100 ribu dia sodorkan. Lho, pagi-pagi sudah bayar pakai
uang besar. Jangan-jangan…
Saat
saya menyiapkan kembalian, dia menghampiri motornya. Momen itu dimanfaatkannya
seolah sedang mengingat sesuatu. Lagi? Bukan. Kali ini dia pura-pura menelpon.
Hp masih melekat di helmnya. Dia tidak membuka helmnya. Apa karena dia ingat
pada saya? Segera saya keluar dari balik etalase. Menghampiti dia di teras.
Memberikan uang kembalian. Harapan saya, dia segera pergi.
Saya
mengamati situasi. Lirik kiri dan kanan. Tetangga belum buka. Beruntung,
tetangga dua toko di samping saya sedang sibuk dengan aktivitas bengkelnya.
Jadi, kalau ada apa-apa, mas-mas di bengkel pasti bisa menolong saya. Saya
sudah siap untuk berteriak minta tolong jika ada kejadian buruk. Sementara itu,
saya terus bersikap waspada. Saya menahan emosi. Saya geram sekali karena
bertemu penipu ini lagi. Ingin rasanya mendamprat dia habis-habisan! Tapi saya
tidak boleh gegabah. Kalau dia balas berbuat nekad bagaimana? Ada Dd Irsyad,
anak saya yang bisa terancam bahaya. Baiklah. Tetap tenang. Tetap waspada.
Benar
dugaan saya, dia tidak juga pergi. Justru kembali lagi dan mengatakan obat yang
dibelinya salah. Dia mencari obat batuk yang ada zat X. Minta obat batuk yang
nggak bikin ngantuk. Lalu dengan suara kerasnya, dia nyerocos tentang obat
seperti apa yang dia inginkan.
Tidak
salah lagi! Ini dia! Dia si penipu itu! Modusnya sama! Betapa bodohnya dia,
mencoba dua kali menipu! Emosi saya semakin menggelegak! Saya ingin marah! Tapi
saya masih menahan diri. Dia menyerocos terus sambil mengacung-acungkan obat
yang tidak jadi dia beli. Marah-marah adalah senjatanya. Sengaja. Supaya
perhatian saya terpecah dan kemudian menjadi lengah. Siapa sih yang nggak
merasa nggak tenang menghadapi pembeli yang marah-marah melulu?
Saya
langsung muak! Saya tidak mau menuruti permintaannya untuk mencarikan obat yang
dia inginkan. Selagi dia nyerocos marah-marah, omongannya saya potong, “Nggak! Saya
nggak punya obat yang seperti itu!”
“Tapi
tadi Ibu bilang ada?!” dia ngotot dengan nada tinggi.
“Nggak
ada! Saya nggak jual!!!” jawab saya dengan judes.
Apa lagi? Apa yang harus
saya lakukan? Kembalian! Ya, selamatkan uang kembalian! Saya masih berusaha tenang dan
waspada. Saya tidak menyimak omelan yang terus-menerus keluar dari mulutnya.
Saya menunggu. Menunggu tumpukan uang kembalian terlepas dari tangannya. Saya
juga sempat melirik pada Dd Irsyad yang sedang bermain di lantai. Bersiap. Jika
dia nekad berbuat sesuatu, saya siap mersih Dd Irsyad. Saya siap menyelamatkan
diri. Saya siap berteriak!
Akhirnya,
uang kembalian dia letakkan di atas etalase. Masih nyerocos saja mulutnya. Ini
dia! Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Sreeettt!!!
Secepat kilat saya ambil uang kembalian itu. Dia kaget! Tatapan matanya seolah
berkata, “Dih, penjual kok gitu? Mau
dibeli nggak sih???”
Uang
100 ribu tidak langsung saya serahkan. Saya tunggu sampai dia meletakkan obat
yang tidak jadi dia beli, obat yang dari tadi dia acung-acungkan sambil
marah-marah, Terpana dengan aksi saya merebut uang kembalian, obat itu
dilepaskannya dan ditaruh di atas etalase. Breetttt!!!
Segera saya rebut obat tersebut.
Kaget
lagi. Tentu saja. Saya memang sengaja tidak mau menyimak omelannya. Setiap dia
bertanya, jawaban saya selalu sama: nggak jual! Mungkin dia gondok karena saya
tidak mau mencarikan obat yang dia inginkan supaya saya lengah lagi. Atau bisa
jadi dia kesal karena sudah mengenali saya! Dan saya tidak bisa ditipu lagi!
Selanjutnya,
kejadian begitu cepat. Setelah saya merebut kembalian, merebut obat,
menyerahkan uang 100 rbu, saya membalik badan untuk menaruh obat di etalase
besar. Dia memaki, “Kok Ibu keliatan marah?!” Ya, saya memang sedang marah!
Marah ketemu kamu, penipu! Ingin rasanya memuntahkan kekesalan saya. Masih saya
tahan. Saya bersiap mengatur kata-kata berikutnya untuk menyerang dia! Yang
penting uang dan obat sudah dikembalikan. Mau menipu modus apa lagi?! “Hati-hati
sama orang ya, Bu!” dia semakin marah. Saat saya membalik badan untuk berhadapan
lagi dengannya, ternyata dia sudah naik ke atas motornya, langsung tancap gas
pergi menjauh.
Alhamdulillah.
Kami masih dilindungi Allah. Saya bersyukur ada Dd Irsyad menemani saya. Dd
membuat saya berani. Kehadiran seorang anak membuat naluri keibuan saya berjuang
untuk melindunginya terhadap kemungkinan bahaya yang mengancam.
Andai
saya hanya seorang diri seperti sebelumnya, mungkin akan lebih banyak aksi yang
akan dilakukan oleh si penipu. Menurut saya, Dd Irsyad adalah penyelamat dalam
kejadian ini. Saya sempat melihat tatapan kecewa penipu itu saat melihat ada
anak kecil dan saya tidak sendirian. Seorang Ibu dengan anak kecil di toko
tidak akan mudah diperdaya. Saat melancarkan aksinya, sang Ibu tidak mudah
terjebak dalam permainan si penipu karena ada anak! Ya, anak saya sering tiba-tiba
minta ini-itu saat menemani di toko. Jadi, penipu bisa dengan mudah diabaikan.
Ibu pasti lebih memperhatikan anak daripada si penipu, bukan?
Kejadian
ini menjadi pengalaman yang berharga untuk saya. Semoga tidak terulang lagi.
Aamiin.
Saya turut prihatin dengan peristiwa iini. Penipu itu datang untuk kedua kalinya dan akan melancakran aksi penipuan dengan modus yang sama Saya membaca artikel ini sampai tuntas. Waspada terhadap anak memang mutlak diperlukan karena dimana mana PENJAHAT bisa berbuat nekad kalau aksi kejahatannya tertangkap tangan. Nyawa kita bisa terancam sewaktu waktu. Mungkin kelak di masa yang akan datang perlu disiapkan "senjata" yang bisa digunakan untuk membela diri
ReplyDeleteBerbagai modus penipuan dilakukan orang demi mengeruk keuntungan pribadi dan merugikan org lain.. Kita patut waspada .. Mksh sdh berbagi pengalaman..
ReplyDeletemodusnya sama ya mak,untung g terjadi apa2....tfs mak :)
ReplyDeleteAlhamdulillah masih ingat sama muka si penipu ya mak, sehingga tdk tertipu lagi. Semoga tdk akan ada lagi kejadian sprti itu
ReplyDeleteterima kasih sharingnya mbak, semoga sang penipu mendapat balasan yang setimpal :)
ReplyDeleteMak..sampe deg2an bacanya ya..alhamdulillah masih dilindungi yaa..itu saking sering nipu jadi lupa kali yamak..
ReplyDeleteAlhamdulillah masih dilindungi Alloh ya Mak... Semoga tidak terjadi lagi
ReplyDeleteSemoga Allah selalu melindungi...
ReplyDeleteYa Allah Mak, ngeri ya... hiks. Ditipu itu rasanya memang sangat menyebalkan sekali. :(
ReplyDeleteSaya baru pertama kali ini mendengar tekhnik memperdaya penjual seperti ini. Semoga kita semua bisa lebih waspada.
ReplyDeleteSalam saya
(12/8 : 2)
Hore, mak hebat..bersikap tegas seperti itu memang harus dilakukan saat menghadapi penipu macam itu.. Iya juga ya, karena ada anak kita jadi lebih berani :)
ReplyDeleteada aja ya cara orang berbuat jahat, syukurlah dirimu nggak apa2 mak
ReplyDeletetake care ya :)
ibu benar2 hebat saya salut bu dengan keberanian dan ketegasan ibu, minal aidin walfaidin ya bu mohon maaf lahir batin
ReplyDeletewaawww emak keren deh hehehe, dasar tu orang ya, oh iya minal aidin walfaidin jg mak ya
ReplyDeleteSyukurlah, penipu itu nggak nekat ya, mak. Geram juga membacanya. Terus, sekarang tokonya masih di situ?
ReplyDeleteDan semoga Mak Inna dan keluarga selalu dalam lindungan Allah Swt. Aamiin
Semoga selalu dijauhkan dari aksi kejahatan...
ReplyDeleteAnda masuk nominasi the liebster award dari saya. Cek ya! :) -> http://komedi-romantis.blogspot.com/2014/08/the-liebster-award.html
ReplyDeletepenipu suka galak-galak, ya, Mak. Kayaknya untuk memecah konsentrasi dan menyiutkan nyali korbannya.
ReplyDeleteTFS. Semoga kita selalu dilindungi oleh Nya. Aamiin
turut prihatin mbak,jadikan ini pelajaran mbak agar kita tidak tertipu untuk kesekian kalinya :)
ReplyDeletesinggah kemari sambil menyimak saja ^_^, salam perkenalan ya. bila ada waktu mampir ketempat saya ya ^_^
ReplyDeleteKalau kebetulan deja vu lagi (siapa tahu pindah toko lagi), mungkin bisa ditanya dengan senyum ramah: "Eh Mas, ini yang nitip obat orangnya sama seperti yang dulu juga itu kah?" :D
ReplyDeleteYa ampun Maaakkkkk.....syukurlah penipunya keder liat Mak Inna tegas dan berani...3Mak lain kali siap2 senjata apa gitu di toko....bila datang penipu lain bila mereka akan melakukan kekerasan, apalagi ada anak di samping kita...
ReplyDeleteSemoga kejadian seperti ini gak terulang lagi ya Mak Inna #peluk