Ibu
Arti, begitu tetangga biasa memanggil beliau. Sebuah nama yang singkat tertera
di KTP wanita kelahiran 2 Februari 1923. Kami sekeluarga biasa memanggil beliau
Embah. Kerasnya hidup yang dijalani terlihat dari guratan wajahnya yang
dipenuhi keriput. Dulu, Embah sempat tinggal serumah bersama keluarga kami.
Saya lupa berapa lama Embah tinggal karena saat itu saya masih kecil.
Embah
pindah dari rumah kami sekitar tahun 1981. Anak bungsu Embah membelikan beliau
sebuah rumah. Embah adalah pensiunan pegawai negeri Departemen Kesehatan. Rumah
tersebut semula ditawarkan hanya untuk karyawan kantor Depkes. Sejak saat itu,
Embah tinggal sendiri bersama seorang pembantu rumah tangga di rumah BTN yang
mungil dan nyaman.
Embah
tidak mempunyai suami. Beliau sudah menjadi janda saat sedang hamil anak
ketiga. Anak pertama Embah, laki-laki, meninggal di usia balita karena demam
tinggi. Sedangkan anak kedua, perempuan, diambil dan dirawat oleh orangtua
mantan suaminya. Mantan suami Embah menikah lagi dan mempunyai enam anak. Sejak
bercerai, hidup Embah langsung berubah. Beliau bekerja membanting tulang untuk
membesarkan anak ketiganya seorang diri. Kerja keras dan perjuangan Embah tidak
sia-sia. Sang anak yang dibesarkan dengan keringat dan air mata tersebut, bisa
bersekolah sampai kuliah di ITB, lalu menjadi pengusaha sukses.
Bulan
Juli tahun 1991. Saat itu usiaku hampir 15 tahun. Aku merasa waktu itu adalah
saat yang paling membahagiakan. Aku pergi ke Jakarta! Meningggalkan rumah
orangtua di Cikampek untuk melanjutkan sekolah SMA. Aku tinggal di Embah yang
terletak di perbatasan Jakarta-Bekasi.
Aku
bahagia sekali bisa tinggal bersama Embah. Sosoknya yang ceria membuat kami
selalu tertawa bersama. Aku sering tidur di kamar Embah, lalu kami bercerita
apa saja sepanjang malam. Aku paling senang mendengar cerita beliau tentang
masa perjuangan sebelum negara kita merdeka. Embah beruntung, beliau dan
saudara-saudaranya bisa bersekolah tinggi bersama anak-anak Belanda. Ilmu
beliau itu sangat berguna ketika mengalami masa sulit mencari nafkah. Embah
sempat menjadi guru bagi anak-anak Jepang. Bahasa Belandanya juga sangat baik.
Bahkan di usia senja, beliau masih fasih berbahasa Belanda dan Jepang.
Sedangkan
cerita yang paling Embah suka dariku adalah tentang teman-temanku. Bahkan
teman-temanku bilang Embah itu funky! Mereka menyukai Embah. Ketika aku
mempunyai tambatan hati, Embah selalu penasaran tentang hubungan kami berdua.
Saat waktu apel tiba, Embah pun bisa tiba-tiba berubah menjadi satpam! Ah
Embah...
Bersama
Embah, aku merasa nyaman. Sebuah perasaan yang sulit aku rasakan sebelumnya.
Embah adalah orang pertama yang menyayangiku sepenuh hati. Embah seolah bisa
memahami isi hatiku. Mengerti perasaanku. Bahkan, Embah adalah orang pertama
yang menangisi nasib kurang baik yang menimpaku. Aku sudah letih menangis. Di
masa mendatang, dua puluh tahun kemudian, ada dua orang lagi yang juga menangis
untukku. Keduanya tidak punya ikatan darah denganku. Namun saat melihat mereka
menangis, aku jadi teringat pada Embah.
Dibalik
keceriaannya, ada duka mendalam di hati Embah. Hubungan Embah dan anak keduanya
tidak berjalan dengan mulus. Suatu ketika, aku sempat mendengar pernyataan
tidak mengenakkan tentang perasaan anak Embah tersebut kepada ibunya. Embah
begitu terpukul ketika aku sampaikan pernyataan tersebut. Beliau terdiam.
Ketika sedang shalat, aku lihat beliau menangis di atas sajadahnya. Sejak itu,
aku berjanji tidak akan menyampaikan lagi hal-hal yang bisa menyakiti hatinya.
Aku sangat menyesal. Maafkan aku, Mbah.
Tiga
tahun berlalu begitu cepat. Aku lulus SMA lalu pergi ke Bandung untuk
melanjutkan kuliah di Unpad. Setiap ada waktu senggang, aku selalu menyempatkan
diri mengunjungi Embah. Kadang naik bis, kadang naik kereta dari Bandung. Jika
tidak sempat main, aku sering menelpon Embah untuk sekedar melepas kangen.
Setelah
aku lulus kuliah, aku menganggur. Aku sengaja mengambil beberapa kursus agar
bisa tinggal bersama Embah. Ketika mendapat pekerjaan di kawasan Sudirman
Jakarta, aku tetap tinggal bersama beliau. Berangkat pagi pulang malam
kulakukan setiap hari. Pernah suatu hari aku terlambat pulang karena nongkrong
bersama teman sepulang kantor, Embah marah. Rupanya beliau khawatir ada apa-apa
terjadi denganku. Salahku juga. Aku tidak menelpon Embah sebelumnya untuk
mengabarkan bahwa aku pulang terlambat. Aku segera minta maaf karena telah
membuatnya cemas.
Kemudian
aku menikah. Aku berhenti bekerja untuk menyusul suami ke Semarang.
Selanjutnya, aku kerap berpindah tempat tinggal karena pekerjaan suami. Meski
merantau ke berbagai daerah nusantara, setiap pulang kampung untuk merayakan
Idul Fitri, aku selalu datang mengunjungi Embah. Selama merantau, aku tidak
pernah absen menelpon Embah setiap beberapa hari sekali. Kangen sekali
mendengar suara dan candanya sambil bertukar kabar tentang keadaan kami berdua.
Sayang,
seiring bertambahnya waktu kondisi kesehatan Embah semakin menurun. Seorang
suster mendampinginya setiap saat. Beliau pun sering bolak-balik masuk rumah
sakit. Tidak ada penyakit serius yang diderita. Hanya beberapa penyakit khas
orang yang sudah lanjut usia. Cepat lelah, darah rendah, sakit maag, dan sesak
napas.
Embah
mulai pikun. Beliau bahkan tidak mengenaliku lagi! Ucapannya juga sering diulang-ulang.
Saat berkunjung, anak pertamaku yang saat itu berusia dua tahun pun bolak-balik
ditanya, “Anak siapa ini?” Ah, aku sedih sekali.
Pertemuan
berikutnya setiap Lebaran masih sama. Beliau makin pikun dan sering sekali
tertidur. Tidak tega mengganggu istirahatnya, aku akhirnya cepat-cepat pamit
pulang. Lagipula, Embah betul-betul sudah tidak bisa diajak mengobrol lagi. Ah
Embah...aku kangen sekali ingin bercanda seperti dulu.
Aku
kembali melanjutkan kehidupanku di tanah rantau bersama keluarga kecilku.
Sesekali aku menelpon rumah Embah, berbicara pada suster untuk menanyakan kabar
kesehatan beliau. Embah sudah todak bisa berbicara di telepon. Aku hanya
menyampaikan salamku untuk Embah lewat suster.
Tahun
2010. Aku sudah menjadi ibu dari dua anak laki-laki dan sedang menanti
kelahiran anak ketiga. Kabar kesehatan Embah yang kian memburuk memang sudah
aku ketahui. Beliau dilarikan ke rumah sakit dan mengalami masa kritis. Sanak
keluarga juga sudah berkumpul untuk mendoakan beliau.
Hingga
suatu sore, sebuah telepon mengabarkan bahwa Embah sudah meninggal. Innalillahi
wa innailahi rojiun. Aku sangat sedih. Kuberitahu suami lewat telepon mengenai
kabar tersebut. Dari kantor, suamiku bilang jika aku ingin pulang ke Jakarta
maka beliau akan mencarikan tiket pesawat untukku. Aku bimbang.
Kehamilanku
sudah berusia 8 bulan. Jika aku pulang, aku pasti akan tetap di kampung halaman
sampai melahirkan. Aku tidak mau melahirkan tanpa didampingi suami. Kuputuskan
untuk tidak pulang menemui Embah untuk yang terakhir kalinya. Aku hanya bisa
mengirimkan doa dari jauh, dari pulau Kalimantan tempat kami berada.
Selamat
tinggal, Embah. Semoga Embah mendapatkan tempat tebaik di sisi-Nya. Selamat
jalan, nenekku tersayang.
si embah memang selalu memiliki tempat khusus di hati ya mak...semoga Embah sudah tenang di sana :)..cheers..
ReplyDeletePengen punya Embah kayak gini mak :) pengen tau rasanya dimanjain kakek nenek
ReplyDeleteDari lahir saya udah nggak punya kakek dan nenek, waktu menikah kedua Orangtua saya emang udah yatim piatu mak...
sosok mbah Arti mengingatkan saya pada nenek dan ibunya nenek yang waktu saya kecil sempat saya sering main dan tinggal bersama belaiu-beliau. Di waktu terakhirnya, nenek juga kadang mengenal saya kadang nggak dan sempat mau kasih cincin ke saya, mungkin karena saking sayangnya. tp sama ibu saya cincinnya dikembalikan :)
ReplyDeletesemoga mbah Arti mendapatkan tempat terbaik dari Nya..mbah Arti merupakan sosok wanita yg hebat :)
ReplyDeleteAku jd mbahku mak... beliau berpulang saar aku baru kls 2 SD. Tapi ingatan ttg beliau...begitu jelas dlm ingatanku.
ReplyDelete