Postingan hari ke 16 untuk #BPN30DayChallenge2018 bertema 10 List blog favorit untuk blogwalking. Sayang sekali, saya bukan blogger yang rajin blogwalking. Buat nulis di dua blog aja saya udah megap-megap. Jadi saya jarang banget blogwalking. Kecuali berkunjung balik ke teman-teman yang sudah komentar di blog saya. Tolong maafkan ya.
Oleh karena itu, saya pilih tema pengganti yaitu kota-kota yang pernah ditinggali. Berikut ini adalah 11 kota yang pernah menjadi tempat tinggal saya, yaitu:
Oleh karena itu, saya pilih tema pengganti yaitu kota-kota yang pernah ditinggali. Berikut ini adalah 11 kota yang pernah menjadi tempat tinggal saya, yaitu:
1. Cikampek
Saya besar di Cikampek. Saat lahir, Mami saya pergi ke Jakarta karena rumah sakit di kota itu belum memadai pada tahun 1976. Jadi, saya cuma numpang lahir doang di Jakarta, lalu dibawa pulang kembali ke Cikampek.
Baca juga: This Used To Be My Playground
Saya tinggal di kawasan industri pabrik pupuk dan sesekali keluyuran di sekitar kota kecamatan ini. Sebelum ramai jadi perlintasan kendaraan yang hendak ke Cirebon atau Bandung, kota Cikampek sepi dan adem ayem. Setelah ada jalan tol, langsung rame deh.
Saya tinggal di Cikampek sampai lulus SMP, kemudian melanjutkan sekolah SMA di Jakarta. Hubungan baik dengan teman-teman yang selalu bersama dari TK, SD, dan SMP masih terjalin sampai sekarang.
Baca juga: Reuni Alumni Six PKC di Cikampek
2. Bekasi
Saya dan kakak melanjutkan SMA di Jakarta dan tinggal di rumah Embah, nenek dari pihak ibu. Rumah Embah sebenarnya pas banget di perbatasan antara Jakarta dan Bekasi. Jadi cuma yah beberapa ratus meter aja dari gapura perbatasan.
Saya bersekolah pada tahun pertama di SMAN di wilayah Duren Sawit Jakarta Timur, lalu pindah ke SMAN di Cililitan pada tahun kedua. Alasannya? Karena kelas biologi di SMAN yang bertempat di Bukit Duri sudah penuh. Sebenarnya, dari awal NEM saya cukup untuk masuk ke SMAN di Bukit Duri. Sayang jauh. Papi saya minta saya bersekolah di lokasi yang dekat dulu, baru pindah pas kelas 2. Ternyata nasib membawa saya ke sekolah yang lain.
Di masa SMA ini, hobi ngeluyur tersalurkan. Saya sering berpetualang jalan-jalan sendiri naik kendaraan umum ke pelosok kota Jakarta. Nyasar juga nggak bikin saya panik. Benar-benar seru!
Tiga tahun tinggal bareng Embah adalah masa paling bahagia. Berasa merdeka gitu, haha. Embah itu sosok yang asik banget buat saya. Bahkan teman SMA saya bilang kalau Embah itu nenek yang funky! Yo man! Ah, i miss her so much, Al Fatihah buat Embah tersayang...
3. Sumedang
Lulus SMA, saya diterima di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung. Artinya, saya harus kos dan hidup mandiri. Wilayah kampus dan tempat kos saya terletak di Jatinangor, yang secara administratif masuk Kabupaten Sumedang.
Tempat kos pertama saya ada di pinggir jalan dan tergabung dengan wisma tamu di bagian bawahnya. Saya betah banget di kos khusus perempuan ini karena suasananya yang asyik. Sayang, karena punya gangguan paru-paru, saya harus pindah.
Tempat kos kedua saya ada di tengah sawah yang udaranya lebih sejuk. Meski harus berjalan cukup jauh, saya seneng di kos ini karena bisa tinggal bareng dengan teman-teman kuliah (oia mereka itu cowok karena kosnya campur).
Tempat kos kedua saya ada di tengah sawah yang udaranya lebih sejuk. Meski harus berjalan cukup jauh, saya seneng di kos ini karena bisa tinggal bareng dengan teman-teman kuliah (oia mereka itu cowok karena kosnya campur).
Makan tahu sumedang? Bisa kapan saja kalau mau. Jaman dulu yang jualan tahu sumedang ya beneran di Sumedang. Kalau sekarang, tahu sumedang bisa ada di mana-mana bahkan sampai ke Kalimantan!
Makan ubi cilembu juga dulu cuma ekslusif di tempatnya. Saya ingat, pulang dari kampus lagi bete. Bareng teman-teman kuliah, kami naik angkot ke arah Sumedang, turun di pinggir jalan dekat Cadas Pangeran. Nongkrong bareng deh, makan ubi cilembu fresh from the oven sambil ngopi. Nikmatnya!
4. Bandung
Jelang kelulusan dan mulai jarang kuliah karena sedang bimbingan skripsi, saya pindah ke Bandung. Kebetulan adik saya diterima di SMAN di Bandung. Mulanya dia kos di sekitar Jalan Cihampelas, dekat sekolahnya. Karena capek mondar-mandir jenguk dua anak, orangtua saya mengontrak rumah di daerah Buah Batu selama dua tahun. Saya dan adik pun pindah ke rumah kontrakan.
Setelah adik saya lulus SMA dan diterima kuliah di Unpad, rumah kontrakan ditinggal. Adik saya kos di Jatinangor. Sedangkan saya memilih untuk kos di dekat rumah sakit khusus ginjal yang menjadi tempat penelitian skripsi.
4a. Pulang ke Cikampek
Setelah lulus kuliah, saya sempat kembali pulang ke Cikampek. Tapi saya nggak betah karena nggak bisa kemana-mana.
4b. Tinggal lagi di Bekasi
Saya pun kembali ke Bekasi. Tinggal bersama Embah dan mengikuti beberapa kursus sambil menunggu panggilan lamaran kerja. Ketika diterima bekerja di sebuah bank di kawasan Sudirman Jakarta, saya pun menjalani hari-hari sebagai pekerja kantoran. Namun itu tidak berlangsun lama. Saya harus resign karena menikah dan mengikuti suami merantau ke Semarang.
5. Semarang
Usai menikah dan bulan madu ke Bali, saya pindah ke Semarang menyusul suami yang bekerja di sana. Belum lama menikmati masa-masa hanimun berdua di rumah, suami sudah ditugaskan pindah ke Kalimantan. Jadi, belum banyak tempat wisata dan kuliner khas Semarang yang dieksplorasi.
Saya memang hanya tiga bulan tinggal di Semarang. Tapi saya seneng banget bisa keluyuran naik bis ke pusat kota. Bahkan naik kereta sendirian pulang pergi ke Cikampek.
Pindahan pertama ke luar pulau pun berlangsung seru. Karena suatu urusan, suami berangkat lebih dulu ke Kalimantan. Saya mengurus pengiriman paket barang pindahan terlebih dahulu. Saat hendak menyusul suami, saya menginap di hotel sederhana sebelum berangkat naik pesawat keesokan harinya. Dan itu semua saya lakukan sendirian dalam kondisi sedang hamil muda. Untung belum pas mabok parah ya, hehehe.
Saya memang hanya tiga bulan tinggal di Semarang. Tapi saya seneng banget bisa keluyuran naik bis ke pusat kota. Bahkan naik kereta sendirian pulang pergi ke Cikampek.
Pindahan pertama ke luar pulau pun berlangsung seru. Karena suatu urusan, suami berangkat lebih dulu ke Kalimantan. Saya mengurus pengiriman paket barang pindahan terlebih dahulu. Saat hendak menyusul suami, saya menginap di hotel sederhana sebelum berangkat naik pesawat keesokan harinya. Dan itu semua saya lakukan sendirian dalam kondisi sedang hamil muda. Untung belum pas mabok parah ya, hehehe.
Baca juga cerita saya saat mengajak anak-anak ke Semarang di sini.
6. Banjarmasin
Nggak pernah nyangka, saya bisa menginjakkan kaki bahkan tinggal di pulau Kalimantan! Wah, beneran saya banyak mangap karena terperangah selama tinggal di sini. Maklum, kebiasaan dari tanah sunda Jawa Barat berbeda banget di kota ini. Sebelum dapat rumah kontrakan, kami berdua kos di dekat kantor suami. Kondisi tempat kos ya gitu deh. Sangat nggak banget buat wanita hamil dan tengah mabok seperti saya.
Suatu ketika, suami dapat tugas dinas ke luar kota selama beberapa hari. Nggak tega meninggalkan saya sendirian di tempat kos, saya pun diajak. Pengalaman baru buat kami melintasi trans Kalimantan untuk pertama kalinya. Kami berangkat bersama teman suami yang mengajak istri dan anak balitanya.
Perjalanan menjadi tegang karena peristiwa kerusuhan Sampit yang masih membekas. Bolak-balik mobil kami dicegat untuk pemeriksaan. Beruntung, wajah khas Banjar teman kantor suami dan istrinya jadi penyelamat. Ditambah wajah khas Sunda suami dan wajah khas Jawa milik saya (uhuk) membuat mobil kami selalu lolos dengan mudah.
Kami dapat rumah kontrakan di komplek dekat kantor suami. Rumahnya itu rumah panggung, lho! Dari depan kelihatan seperti rumah biasa. Pas masuk, krek... lantai kayu langsung terasa! Dan di kolong rumah adalah rawa tempat banyak ikan berkecipuk dan kadang ada biawak juga katanya.
Di kota ini saya melahirkan anak pertama bernama Dilshad. Gagap belum berpengalaman punya bayi membuat saya kewalahan. Bahkan saya membuat kecerobohan yang fatal dengan hampir membuat rumah kebakaran. Saya lupa sedang menghangatkan bubur kacang hijau di dapur. Ini sudah terjadi beberapa kali. Daripada kondisi saya semakin kacau, suami menyuruh saya pulang ke rumah orangtuanya di Bogor.
Di kota ini saya melahirkan anak pertama bernama Dilshad. Gagap belum berpengalaman punya bayi membuat saya kewalahan. Bahkan saya membuat kecerobohan yang fatal dengan hampir membuat rumah kebakaran. Saya lupa sedang menghangatkan bubur kacang hijau di dapur. Ini sudah terjadi beberapa kali. Daripada kondisi saya semakin kacau, suami menyuruh saya pulang ke rumah orangtuanya di Bogor.
7. Bogor, Ciapus
Saya berpisah dengan suami. Memulai LDR, long distance marriage. Saya di rumah mertua di Bogor Jawa Barat, dan suami masih di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Nggak enak banget tinggal berjauhan dengan suami. Apalagi saya yang harus banyak beradaptasi dengan keluarga mertua.
Sebenernya, nggak ada masalah antara saya dan mamah mertua (kini almarhum) yang super baik. Saya aja yang merasa nggak nyaman karena belum terbiasa tinggal di kampung, haha. Selama tinggal di Ciapus Bogor, saya bisa keluyuran sendirian tanpa membawa bayi. Beneran me time yang berharga untuk mengusir kejenuhan dan baby blues.
Alhamdulillah, fase LDR cuma beberapa bulan saja. Suami kemudian dipindah tugas ke pulau Jawa! Pindah ke mana kita?
Alhamdulillah, fase LDR cuma beberapa bulan saja. Suami kemudian dipindah tugas ke pulau Jawa! Pindah ke mana kita?
8. Solo
Pindah ke Solo, wah senangnya! Mendengar nama kotanya saja sudah bikin hati tentram. Kenyataannya, tinggal di kota Solo memang membawa kedamaian. Kami mengontrak rumah dua lantai di daerah Gumpang. Kebetulan saya emang pengen banget tinggal di rumah bertingkat, norak ya!
Tinggal di Solo sangat menyenangkan. Saya menikmati jadi mahmud dengan satu anak. Dengan bantuan asisten rumah tangga, saya bisa mengerjakan yang lain. Saya bisa belajar masak, ikut aktif di kegiatan RT, jadi bendahara arisan, membuat koleksi kliping parenting dan resep masakan, serta membantu mengetik tugas kuliah suami,
Oia, di kota ini juga suami sempat kuliah lagi. Sayang, saat sedang bimbingan tesis, kami disuruh pindah ke kota lain. Jadi merepotkan buat suami harus bolak-balik untuk bimbingan tesis demi meraih gelar master. Kemudian beliau menyerah, tidak meneruskan kuliahnya sampai tuntas. Menurutnya, gelar tidak penting, yang penting sudah dapat ilmunya. Tidak apa, istrimu ini tetap mendukung, sayang...
Saya betah banget tinggal di Solo dan sedih ketika harus pindah. Rumah kontrakannya nyaman, tetangga baik, orang-orang yang ramah, makanan setempat yang lezat dengan harga bersahabat, ah cinta deh sama kota Solo!
Baca juga cerita napak tilas ke Solo di sini.
9. Denpasar
Kota berikutnya adalah Denpasar. Perjalanan darat dari Solo saat pindahan bareng truk barang berjalan lancar. Kami tiba di rumah kontrakan yang berlokasi di tengah pemukiman penduduk di tengah kota Denpasar. Enaknya, dari tempat ini lumayan dekat ke Pantai Sanur. Mau main tiap hari ke pantai juga hayuk, hehe.
Rumah dengan halaman depan yang kebangetan luasnya itu (buat saya) jadi kenangan tersendiri. Saya mulai beradaptasi dengan suasana yang kental dengan ritual keagamaan di Bali. Tetangga sekitar yang tahu kami non muslim kerap bergantian menaruh canang (sesajen) di depan pagar. Kami pun saling melempar senyum saat bertatapan.
Kemudiana, terjadi sesuatu. Ada masalah dengan Dilshad yang belum bisa bicara padahal usianya sudah 2,5 taun. Setelah menjalani pemeriksaan di RS Sanglah, kami memutuskan untuk pindah rumah. Lho, apa hubungannya? Kami pindah untuk mencari rumah yang dekat dengan playgrup. Nantinya Dilshad akan bersekolah dan berinteraksi dengan banyak teman supaya lancar berbicara.
Kami pindah ke komplek di pinggiran kota lagi, dan di sini lebih dekat menuju pantai Kuta. Di kota ini saya dinyatakan hamil anak kedua. Selanjutnya, kegiatan saya setiap hari adalah mengantar sekolah, masak, mengajak main Dilshad, dan jalan-jalan ketika suami libur kerja.
Asyik banget tinggal di Bali. Bisa jalan-jalan melulu! Ah enggak juga. Kalau jadi penduduk mah beda sama jadi turis. Nggak kepikiran buat sering jalan-jalan demi budget bulanan, haha.
Untuk menuntaskan rasa kangen pada Bali, bertahun kemudian (tepatnya pas liburan kenaikan kelas bulan Juli 2018), kami sekeluarga jalan-jalan ke Bali, lho! Beneran jadi turis ini mah...
Yah begitulah. Bali memang memikat untuk para wisatawan. Saya dan suami selama tinggal di Bali ngerasa kayak lagi berlibur, hihi. Sayang, waktu dua tahun nggak cukup buat ngubek-ngubek seluruh pulau Bali. Maklum, riweuh punya anak kecil dan saya sedang hamil, hehe. Hingga nggak terasa, sudah waktunya kami pindah lagi. Kali ini pindahnya semacam pulang kampung...
Rumah dengan halaman depan yang kebangetan luasnya itu (buat saya) jadi kenangan tersendiri. Saya mulai beradaptasi dengan suasana yang kental dengan ritual keagamaan di Bali. Tetangga sekitar yang tahu kami non muslim kerap bergantian menaruh canang (sesajen) di depan pagar. Kami pun saling melempar senyum saat bertatapan.
Kemudiana, terjadi sesuatu. Ada masalah dengan Dilshad yang belum bisa bicara padahal usianya sudah 2,5 taun. Setelah menjalani pemeriksaan di RS Sanglah, kami memutuskan untuk pindah rumah. Lho, apa hubungannya? Kami pindah untuk mencari rumah yang dekat dengan playgrup. Nantinya Dilshad akan bersekolah dan berinteraksi dengan banyak teman supaya lancar berbicara.
Kami pindah ke komplek di pinggiran kota lagi, dan di sini lebih dekat menuju pantai Kuta. Di kota ini saya dinyatakan hamil anak kedua. Selanjutnya, kegiatan saya setiap hari adalah mengantar sekolah, masak, mengajak main Dilshad, dan jalan-jalan ketika suami libur kerja.
Asyik banget tinggal di Bali. Bisa jalan-jalan melulu! Ah enggak juga. Kalau jadi penduduk mah beda sama jadi turis. Nggak kepikiran buat sering jalan-jalan demi budget bulanan, haha.
Untuk menuntaskan rasa kangen pada Bali, bertahun kemudian (tepatnya pas liburan kenaikan kelas bulan Juli 2018), kami sekeluarga jalan-jalan ke Bali, lho! Beneran jadi turis ini mah...
9a. Bogor, Cibinong
Pindah ke Bogor! Wah, ini mah pulang kampung, hehe. Suami pindah tugas ke Jakarta. Sebenarnya, bisa aja sih kami ngontrak rumah di Jakarta. Tapi ngapain juga? Waktu baru pindah ke Bali, kami sempat membeli rumah di pinggiran Kabupaten Bogor, tepatnya di Cibinong. Rumah tersebut dikontrakkan pada teman sekantor suami yang baru pindah dari Denpasar (lucu ya, paselingsingan tapi nggak ketemu).
Saat kami akan kembali ke Bogor, rumah itu kami tempati. Alhamdulillah, nikmatnya menempati rumah sendiri setelah sekian lama ngontrak rumah melulu. Biar mungil dan apa adanya, rumah sendiri bebas dibenahi sesuai selera. Jadi tentram tinggal di rumah ini meskipun cicilannya belum lunas, hehe.
Di Bogor, anak kedua bernama Rasyad pun lahir. Hari-hari saya disibukkan dengan mengurus bayi, mengasuh anak balita, dan mengurus Mami yang tinggal bersama kami. Masa-masa itu, jujur, adalah masa paling berat secara ekonomi keluarga.
Hingga angin segar pun datang. Kami bisa memulai hidup baru lagi di tanah rantau...
10. Palangkaraya
Pindah ke Kalimantan! Tepatnya ke Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Hore! Saya kangen pergi merantau dan berpindah-pindah tempat tinggal. Bukannya nggak betah tinggal di Bogor, saya rindu tantangan baru dan bisa jalan-jalan jauh, hehe.
Begitu tiba, saya terpukau. Rumah kontrakan di Palangkaraya adalah rumah yang besar! Halaman depan lega, banyak kamar dan ruangan, plus halaman belakang yang luas dengan kolam ikan.
Sebenarnya, rumah ini adalah kantor sementara. Sebelum kantor baru jadi, kami menempati satu kamar sempit di dekat dapur karena bagian depan rumah masih menjadi ruang kerja.
Sebenarnya, rumah ini adalah kantor sementara. Sebelum kantor baru jadi, kami menempati satu kamar sempit di dekat dapur karena bagian depan rumah masih menjadi ruang kerja.
Seru aja kesannya numpang tinggal di kantor. Pada pagi hari, para karyawan datang untuk bekerja. Saya dengan cueknya masak di dapur, kemudian merebak aroma yang bisa gangu konsentrasi kerja, haha. Pada malam hari baru deh saya bisa gentayangan di kantor bareng anak-anak.
Saking semangatnya pindahan rumah, saya lupa mengecek kondisi badan sendiri. Sebulan kemudian, saya dinyatakan hamil anak ketiga padahal saya masih pakai alat kontrasepsi. Selengkapnya saya ceritakan di postingan Hamil dengan Spiral.
Tidak lama, si bungsu Irsyad pun lahir. Selanjutnya, saya resmi jadi emak riweuh dengan tiga anak laki-laki. Meski riweuh, saya dan keluarga menyempatkan diri untuk jalan-jalan juga lho. Baca cerita jalan-jalan di Palangkaraya berikut ini.
11. Makassar
Pindah rumah lagi! Kali ini takdir membawa kami sekeluarga ke pulau Sulawesi! Wah, senangnya! Saya bisa nginjak Sulawesi! Kami pindah ke Makassar, Sulawesi Selatan. Langsung deh nomor satu yang kebayang oleh saya adalah kulinernya. Nggak salah lagi, bahkan saya sampai kewalahan dengan serbuan kuliner di Makassar!
Di kota ini, kami menempati dua rumah kontrakan. Yang pertama di pinggiran kota dan lumayan jauh dari SDIT tempat Aa Dilshad bersekolah.Jadi, kami pindah ke rumah yang masih lumayan mending lah jaraknya.
Saya menikmati tinggal di Makassar. Sayang tidak demikian dengan Aa Dilshad. Ada masalah di sekolah barunya. Setelah masalah pertama selesai, saya kira sudah berakhir. Ternyata ada lagi setelah kenaikan kelas dan wali kelasnya kurang bisa mengatasi masalah tersebut. Demi anak, saya dan suami memutuskan untuk pindah sekolah sekalian ke Bogor. Saya dan suami pun kembali menjalani LDR.
Kembali ke Bogor
Saya kembali ke Bogor bersama anak-anak pada bulan November 2011. Suami rencananya akan mengajukan surat pengunduran diri pada bulan Januari mendatang usai acara meeting tahunan.
Tidak disangka, ada kejadian mendadak yang membuat kami semua berduka, yaitu meninggalnya Mamah mertua. Untunglah suami sempat bertemu dengan ibunya setelah lama berkomunikasi via telpon antara Bogor-Makassar. Kebetulan suami sempat pulang ke Bogor sebentar sebelum berangkat jalan-jalan kantor ke Thailand. Keesokan harinya setelah melepas rindu dengan anak tercintanya, Mamah langsung berpulang pada Illahi.
Kejadian itu membuat suami menyerahkan surat pengunduran diri lebih cepat. Tapi apa yang terjadi? Atasan suami menolak membaca surat tersebut dan malah memberikan promosi jabatan dengan penempatan kantor di Jakarta dan tinggal menetap!
Baca juga: Setahun Pulang Kampung, Menata Masa Depan
Demikian kisah 11 kota tempat saya pernah tinggal.
Dan sekarang...
Saya bersama suami dan anak-anak sudah tinggal menetap di Bogor. Semoga jalan hidup yang kami tempuh ini senantiasi diberkahi dan kami bisa terus bersama sebagai keluarga sampai akhir hayat, aamiin.
Wah luar biasa Inna sekeluarga pernah tinggal di 11 kota, di Banjarmasin dulu tinggal di daerah mana? Masih bisa masak soto Banjar dan nasi kuning Banjar kan?
ReplyDeletedulu di duh mana ya komplek banjar indah baru pal 7 kalo ga salah.
Deletejustru soto banjar n nasi kuning banjar belum pernah masak makk...ahaha ajarin yak :D
Saya sekarang tinggal di Cileunyi, ngikut suami yang kerja di Jatinangor. Hayu Mba Inna ke Jatinangor lagi
ReplyDeleteasikk nanti aku maen yaa.
Deletedulu aku sukaa banget makan bakso di sebelah terminal cileunyi. bakso rudal yg gede gitu. masih ada ga?
wah hampir semua bag indonesia pernah ditinggali kecuali sumatra. pastinya kaya pengalaman dan wawasan ya mbak
ReplyDeleteiya penasaran belum nginjek sumatra n indonesia timur hehe
Deletealhamdulillah jadi tahu beragam suku n budayanya :)
Keren banget mbak, udah tinggal di banyak kota. Pasti kaya akan pengalaman ya..ada 2 kota yang saya juga pernah tinggali yaitu Bekasi dan Semarang. Kalau Solo, pernah sih buat jalan jalan...:)
ReplyDeletealhamdulillah tercapai pengen kukurilingan :D
Deletesolo enak mba adem tentrem bikin betah
Wah keren life-tripnya Inna..tgl Sumatera sm Papua,lengkap deh seri My Life My Adventurenya.
ReplyDeletePsst...di poin 10,Palangkaraya,itu Kalimantan Tengah,bukan Kalbar.He3x.Sukses ya buat Inna dan keluarga.
aia kenapa jadi kalbar ya jelas2 kalteng ahaha emak siwer. makasi udah dikoreksi om deddy.
Deletesukses juga buat deddy sekeluarga di sana :)